KELUARGA KATOLIK DI ERA MODERN 1
BAB I : PENDAHULUAN
LAMPIRAN
Dalam cara pandang itu, kita dapat memakai pandangan Lisa Sowle Cahill. Ia menyatakan bahwa: “In my view, the Christian family is not the nuclear family focused inward on the welfare of its own members but the socially transformative family that seeks to make the Christian moral ideal of love of neighbor part of the common good”. Keluarga kristiani bukan sebagai keluarga inti yang hanya memfokuskan diri pada kesejahteraan anggota-anggotanya (bonum conjugum, bonum prolis) namun sebuah keluarga yang secara sosial mentransformasi masyarakat sedemikian sehingga kasih kepada sesama terpancar dalam kebaikan bersama (bonum communae).
KELUARGA KATOLIK DI ERA
MODERN
(KELEMAHAN DAN
KEKUATAN)
DI DALAM PERANNYA
--------------------------------------STKIP WIDYA YUWANA MADIUN--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Ag. Efendi Darmanto
132777
fb: efendi jeck radek
youtube: Ag efendi darmanto
pin : 5fa36c87
ABSTRACT
Nowdays,
the humans’ life are affected by the development of technology rapidly. Almost
everybody feel the effect of modern era in their life. On the one side, it
gives easy and comfortable ways in live. But on the other side, it gives some
negative and positive effect which influence to children’s personalities so the
role of family is very needed in facing this problem. The Situation of
the Family in the World Today 6. The situation in which the
family finds itself presents positive and negative aspects: the first are a
sign of the salvation of Christ operating in the world; the second, a sign of
the refusal that man gives to the love of God. On the one hand, in fact, there
is a more lively awareness of personal freedom and greater attention to the
quality of interpersonal relationships in marriage, to promoting the dignity of
women, to responsible procreation, to the education of children (Familiaris
Consortio: Art 6). The task of catholic family is to construct their
selves to be the new habitus or the faith base line of children, adolescent and
young community lives. That Habitus description can be created by constructing
the movement of ecclesiastical live for credible, transparency and accountable
Catholic families (Jurnal: Suparto). ROLE OF CHRISTIAN FAMILY, The
family finds in the plan of God the Creator and Redeemer not only its identity,
what it is, but also its mission, what it can and should do. The role that God
calls the family to perform in history derives from what the family is; its
role represents the dynamic and existential development of what it is. Each
family finds within itself a summons that cannot be ignored, and that specifies
both its dignity and its responsibility: family, become what you are.
Accordingly, the family must go back to the “beginning” of God’s creative act,
if it is to attain self-knowledge and self-realization in accordance with the
inner truth not only of what it is but also of what it does in history. (Familiaris Consortio: Art 6).
KEY WORDS : Era Modern, Situasi Keluarga Di Dunia
Hari Ini, Keluarga Katolik, Pemisahan Antara Iman Dan Kehidupan Sehari-Hari, Peran
CHRISTIAN FAMILY.
BAB I : PENDAHULUAN
Keluarga
katolik di dunia ini sangat diwarnai dengan berbagai macam situasi bahkan
permasalah yang beraneka macam bahkan peran tenaga pastoral sangatlah penting
didalam mendampingi langkah keluarga di era modern. Paus Benediktus XVI
dalam Surat Apostolik Porta Fidei (Pintu Iman) menyatakan keprihatinannya akan merosotnya
upaya penerusan atau pewarisan iman yang sedang melkita Gereja. Bapa
Suci mengajak segenap warga Gereja untuk merefleksikan kembali imannya
sekaligus mengambil langkah kreatif guna membangun kembali imannya. Untuk itu,
lahan penting yang harus digarap pertama sekali adalah keluarga. Keluarga
dijadikan sebagai locus ideal dalam menanamkan ajaran iman, secara khusus yang
bersumber dari Kitab Suci. Keluarga diajak kembali merenungkan isi Kitab Suci
secara bersama-sama sehingga keluarga semakin bertumbuh dalam iman. Pendasaran
iman di dalam keluarga sangat menentukan perkembangan gereja secara umum.
Maka, tidak terlalu
mengherankan bahwa keluarga memainkan suatu peran yang penting dalam pertumbuhan dan pembentukan karakter gerakan kristiani
perdana. Gereja Yerusalam memecahkan roti, melanjutkan pengajaran di
rumah-rumah masing-masing secara bergilir dan makan bersama-sama dengan gembira
dan dengan tulus hati, sambil memuji Allah (bdk. Kis. 2:46; 5:42; 12:12). Dalam
perikop ini saya sebagai penulis ingin mengajak pembaca untuk melihat kembali
bahwa mewartakan kerajaan Allah harus tetap dihidupi bukan hanya orang yang
bekerja didalamnya tetapi orang yang benar-benar mengikuti Kristus dalam
kehidupan sehari-hari baik dalam situsi apapun maupun dimana pun.
KGK 2685 Keluarga
Kristen adalah tempat pendidikan doa yang pertama. Atas dasar Sakramen Perkawinan, keluarga
adalah “Gereja rumah tangga”, di mana anak-anak Allah berdoa
“sebagai Gereja” dan belajar bertekun dalam doa. Teristimewa untuk anak-anak kecil, doa sehari-hari dalam keluarga
adalah kesaksian pertama untuk ingatan Gereja yang hidup, yang dibangkitkan
dengan penuh kesabaran oleh Roh Kudus. Dalam suratnya kepada jemaat di Kolose,
Paulus memberikan penekanan tentang hubungan antar anggota keluarga:
suami-istri, orangtua-anak. Hubungan itu dijelaskan dengan latarbelakang budaya
patriarkat, di mana seorang suami memegang peranan penting dan istri serta anak
diwajibkan untuk taat kepada sang bapak keluarga. Istri diminta untuk tunduk
kepada suaminya, suami harus mengasihi istrinya dan tidak berlaku kasar
padanya, anak harus taat kepada orangtua, serta bapa tidak boleh menyakiti
anaknya semua ini harus dilakukan karena Tuhan.
Melayani Di Dalam
Keluarga (Kol 3:18-4:1). Oleh sebab itu maka sangatlah perlu peran Dengan
demikian, keluarga sebagai Ecclesia domestica merupakan tempat
yang kudus, karena di dalam keluarga Allah sendiri hadir di tengah umat-Nya.
Secara khusus dalam doa keluarga digenapilah Sabda Tuhan yang mengajarkan bahwa
jika dua atau tiga orang yang bersekutu di dalam nama-Nya, Tuhan hadir (lih.
Mat 18:20). “Tempat yang kudus” dalam keluarga tidak untuk diartikan secara
jasmani, di mana keluarga menyediakan tempat khusus untuk berdoa; tetapi juga
tempat kudus rohani, di mana keluarga bersama-sama menerapkan iman, pengharapan
dan kasih yang melibatkan pengorbanan dan pemberian diri seturut teladan
Kristus (lih. Familiaris Consortio 49).
Maka tulisan ini
saya buat untuk mengenalkan serta mengajak keluarga, keluarga Katolik agar
lebih memberanikan diri dan memberikan wujud nyata dalam memberikan sumbangan
pemikiran tentang arus Era Modern yang sangat berpengaruh dalam pola pemikiran
dan pola hidup yang sangat berpengaruh didalam permasalahan dalam keluarga
katolik.
1.1
LATAR BELAKANG
1.1.1
Pengaruh Keluarga Katolik
Keluarga katolik di era
modern memiliki pengaruh didalam perannya diantaranya terdapat (kelemahan dan
kekuatan) sebagai pasangan Pasutri (Pasangan Suami-Istri) memiliki peran dan
panggilan sebagai orang beriman yang diutus untuk mewartakan kabar gembira
Allah. Tetapi dalam mewartakan kabar gembira tidaklah mudah maka adanya kesuram
didalam keluarga serta tantangan yang dialami keluarga itu sendiri maka saya
sebagai mahasiswa yang nantinya sebagai Katekis atau bahkan guru agama tentu
harus dapat menjadi penunjuk jalan bagaimana permasalah yang dihadapi oleh keluarga
agar dapat terselesaikan.
Maka tulisan yang saya buat agar
mampu membantu keluarga Kristiani agar dapat memaknai arti keluarga bahkan
terpanggil dalam rencana Allah bagi keluarga untuk menghidupi panggilan
keluarga kristiani sebagai Madah kasih ini sebagai alat untuk
mengevaluasi keluarga kristiani apakah kita sudah mewujudkannya dalam hidup
keluarga? Wujud konkret panggilan kasih dalam keluarga (bdk. FC, 11).
Bukan hanya itu saja, saya sebagai
penulis ingin mengajak keluarga kristiani untuk menyikapi baik itu pendidikan
anak, istri, suami bahkan keluarga yang ada disekitarnya agar mampu mendidik
anak pada era modern serta menciptakan komunikasi intim dengan keluarga sebab
tujuan komunikasi adalah saling memahami, mencintai dan memberi dukungan. Maka
saya sebagai mahasiswa mengambil tema yang tertera diatas bertujuan sangatlah
jelas bagaiman saya sebagai katekis atau guru agama dapat memberikan kepedulian
yang sangat berarti dalam menyikapi dunia yang sangat serba cepat (Modern) agar
membatasi atau mengurangi pandangan yang salah didalamnya dengan tugas yang
saya buat semoga bermanfaat serta menjadikan pelajaran tambahan baik dunia anak
maupun Pasutri tersebut. Amin
1.2
TUJUAN
1.2.1
Keluarga Keristiani Memiliki Tujuan
Untuk tujuan makalah berisi tentang tujuan yang akan
dicapai dengan pembuatan makalah atau paper saya sebagai penulis memiliki
tujuan yang harapannya tercapai yakni:
ü Agar
mampu menyikapi suatu masalah yang terjadi di Era Modern ini.
ü Agar
Pasutri memahami (peran, rencana Allah, fungsi sebagai keluarga) yang tujuannya
menjadi terpanggil.
ü Agar
Pasutri mampu menjadi terang didalam kegelapan dengan terang Injili bahkan
seruan Bapa Paus dalam “Keluarga”.
ü Agar
Pasutri berperan serta dalam kehidupan dan misi Gereja.
1.3
RUANG LINGKUP MATERI
Ruang Lingkup Makalah berisi tentang ilmu atau teori
yang berkaitan dengan tema “keluarga katolik di era modern
(kelemahan dan kekuatan) Di dalam perannya” yang diambil dalam makalah atau paper
tersebut sebagai materi atau panduan.
1.3.1
Keluarga Katolik mengemban Tugasnya yang
terwujud dalam lima Tugas Gereja.
1.3.2
Bagaimana Perannya agar dapat dipahami
bagi keluarga.
Era Modern sangat
banyak menawarkan banyak berkat dan kemudahan tetapi juga tidak jarang membawa
tantangan barat bagi kehidupan iman dan moralitas dalam ikatan keluarga dan
masyarakat. Bagaimana sikap keluarga Kristiani merespon dalam masalah tersebut
dari dampak Era Modern atau Gelobalisasi? Menjawab pertanyaan ini, Ola Rongan
Wilhemus merespon dalam tulisannya yang diterbitkan di WINA PRESS dengan
judul Keluarga Kristiani Merespon Globalisasi hal 1-15. Dalam tulisannya
bermaksud membantu keluarga Kristen untuk menelaah hakekat Era modern baik itu
dampak dan bagaimana keluarga Kristen merespon perkembangan jaman saat ini.
Konsili Vatikan II dalam Konstitusi Dogmatis tentang Gereja Katolik melihat
keluarga sebagai “Gereja Mini”. Artinya melalui keluarga ini, Allah menyalurkan
Rahmat-Nya kepada keluarga untuk disebarluaskan pertama-tama kepada anggota
keluarga sendiri dan kemudian kepada masyarakat luas melalui prilaku hidup yang
dijiwai semangat cinta kasih, pengampunan, dan pertobatan. Sebagai Gereja mini,
umat beriman Kristiani mengimani kehidupan keluarga sebagai suatu panggilan dan
anugerah Ilahi sebagaimana tertulis dalam Kitab Kejadian:
“Pada awalnya, Tuhan
menciptakan manusia sebagai pria dan wanita menurut gambaran dirinya sendiri
dan berfirman kepada mereka, beranak cuculah dan bertambah banyak penuhilah
bumi dan taklukanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan
burung-burung di udara serta segala binatang yang merayap di bumi”
(Kej:1:26-29).
|
Dengan banyaknya
manusia maka makin banyak pula timbul masalah-masalah dalam kemajuan pada jaman
ini maka banyak pula Rahmat Allah yang perlu dicari. Berkat Sakramen-sakramen
yang diterima oleh Gereja maka mereka menjadi satu dalam anggota dan perlu ikut
membangun Gereja. Yang perlu dipahami bahwa Keluarga bukan hanya merupakan
sebuah komunitas basis manusiawi belaka, melainkan juga komunitas basis
gerejawi yang mengambil bagian dalam karya penyelamatan Allah. Hidup
berkeluarga ini menampakkan hidup Gereja sebagai suatu persekutuan (Koinonia)
dalam bentuk yang paling kecil namun mendasar, yang merayakan iman melalui doa
peribadatan (Leiturgia), mewujudkan pelayanan (Diakonia) melalui pekerjaan, dan
memberi kesaksian (Martyria) dalam pergaulan serta semuanya itu menjadi sarana
penginjilan (Kerygma) yang baru. Maka hidup berkeluarga sangat khas dalam peran
yang sangat mendukung bagi perkembangan Gereja didalam kemajuan jaman yang
begitu pesat dan tidak bisa kita duga-duga maka perlunya keluarga menyambutnya
dengan kasih dalam Roh Kudus agar agar hidup berkeluarga dapat menyikapi dari
masalah-masalah yang dihadapi dari pasangan-pasangan Keluarga ini.
1.3.3.
Lima
panca tugas Gereja dalam keluarga.
Maka benar bahwa perlunya
sungguh-sungguh Gereja rumah tangga harus memberi sumbangsih agar dapat
mengambil bagian dalam lima tugas Gereja seperti berikut ini:
a. Persekutuan
(Koinonia)
Keluarga
adalah ‘persekutuan seluruh hidup’ (consortium totius vitae) antara
seorang laki- laki dan seorang perempuan berlintaskan perjanjian antara kedua
belah pihak dan diteguhkan melalui kesepakatan perkawinan. Persekutuan antara
mereka berdua diperluas dengan kehadiran anak- anak dan keluarga besar.
Ciri pokok dari persekutuan tersebut adalah hidup bersama berdasarkan
iman dan cinta kasih serta kesediaan untuk saling mengembangkan pribadi satu
sama lain. Persekutuan dalam keluarga diwujudkan dengan menciptakan saat- saat
bersama, doa bersama, kesetiaan dalam suka dan duka, untung dan malang, ketika
sehat dan sakit. Jadi intinya adalah seluruh hidup keluarga sangatlah didasari
hidup bersama sehingga adanya kepekaan untuk saling mengasihi seperti Allah
sendiri adalah Kasih bagi sesama manusia yang ingin berdamai bersama dengan
Dia.
b.
Liturgi (Leiturgia)
Kepenuhan
hidup Katolik tercapai dalam sakramen-sakramen dan hidup doa. Melalui
sakramen-sakramen dan hidup doa, keluarga bertemu dan berdialog dengan Allah.
Dengannya mereka dikuduskan dan menguduskan jemaat gerejawi serta dunia. Relasi
antara Kristus dengan Gereja terwujud nyata dalam Sakramen Perkawinan, yang
menjadi dasar panggilan dan tugas perutusan suami-istri. Suami-istri mempunyai
tanggung jawab membangun kesejahteraan rohani dan jasmani keluarganya, dengan
doa dan karya. Doa keluarga yang dilakukan setiap hari dengan setia dakan
memberi kekuatan iman dalam hidup mereka, terutama ketika mereka sedang
menghadapi dan mengalami persoalan sulit dan berat, dan membuahkan berkat
rohani, yaitu relasi yang mesra dengan Allah. Jadi intinya adalah relasi dengan
Allah bagaikan Teologi Dari Atas Dan Dari Bawah, teologi dari atas adalah
relasi atau hubungan dengan Allah yang menjadikan kita semua agar hidup menjadi
sadar akan perlunya hidup dengan Allah harus memiliki semangat yang berelasi
Tetap dan tidak akan berubah sedangkan teologi dari bawah yakni bagaimana
setiap insan menyikapi kehadiran Allah apakah hanya diam saja atau menerima Roh
Kudus yang ingin berbicara kepada kita semua. Sehingga semua itu akan membentuk
hidup doa dan hidup karya yang sangat berarti dalam diri setiap manusia.
c.
Pewartaan Injil (Kerygma)
Karena
keluarga merupakan Gereja Rumah tangga, keluarga mengambil bagian dalam tugas
Gereja untuk mewartakan Injil. Tugas itu dilaksanakan terutama dengan
mendengarkan, menghayati, melaksanakan, dan mewartakan Sabda Allah. Dari hari
ke hari mereka semakin berkembang sebagai persekutuan yang hidup dan
dikuduskan oleh Sabda. “Keluarga, seperti Gereja, harus menjadi tempat
Injil disalurkan dan memancarkan sinarnya. Dalam keluarga, yang menyadari tugas
perutusan itu, semua anggota mewartakan dan menerima pewartaan Injil. Orang tua
tidak sekedar menyampaikan Injil kepada anak-anak mereka, melainkan dari
anak-anak mereka sendiri, mereka dapat menerima Injil itu juga, dalam bentuk
penghayatan mereka yang mendalam. Dan keluarga seperti itu menjadi pewarta
Injil bagi banyak keluarga lain dan bagi lingkungan di sekitarnya.” (Paus
Paulus VI, Himbauan Apostolik, “Evangelii Nuntiandi“, EN, 71).
Sabda Allah itu termuat dalam Kitab Suci, yang tidak selalu
mudah dipahami, maka keluarga sebaiknya ikut mengambil bagian secara aktif
dalam kegiatan-kegiatan pendalaman Kitab Suci. Jadi intinya adalah manusia yang
mau dan sungguh-sungguh ingin mengikuti Yesus sangatlah perlu adanya sumbangsih
atau bentuk yang nyata didalam dirinya kepada Allah, nah kalau ditanya
bagaimana caranya yakni setiap manusia yang mengikuti Yesus hendaklah secara
sadar agar mampu mewartakan, menggemakan, menyerukan, dalam mengembil peran
yakni sebagai saksi Kristus dalam rumah tangganya agar menjadikan benar-benar
sebagai pewarta kasih Allah.
d. Pelayanan
(Diakonia)
Keluarga
merupakan persekutuan cinta kasih, maka keluarga dipanggil untuk mengamalkan
cinta kasih itu melalui pengabdiannya kepada sesama, terutama bagi mereka yang
papa. Dijiwai oleh cinta kasih dan semangat pelayanan, keluarga katolik
menyediakan diri untuk melayani setiap orang sebagai pribadi dan anak Allah.
Pelayanan keluarga hendaknya bertujuan memberdayakan mereka yang dilayani,
sehingga mereka dapat mandiri. Intinya adalah pelayanan. Setiap orang tentu
memiliki jiwa sosial sebab setiap manusia tidak dapat hidup secara sendiri agar
menjadikan panggilan dalam pelayanan menjadi sungguh nyata maka haruslah dapat
cintai diri sendiri kemudian orang lain dia harus mampu berdamai dengan diri
sendiri itu adalah kuncinya sehingga seseorang mampu menghadirkan cinta dalam
pelayanan tersebut pelayanan merupakan sesuatu yang bertujuan berdamai dengan
diri sendiri itu penting agar mampu menjadikan diri menjadi manusia baru dan
meninggalkan yang lama. Maksudanya adalah mampu meninggalkan ketakutan,
kegelisahan, kecemasan, ketidak siapan agar manjadi manusia yang baru yang
sungguh siap didalam diri untuk melayani Allah dengan penuh kasih, cinta,
harapan agar mampu menerima Roh Kudus dalam diri kita semua.
e. Kesaksian
Iman (Martyria)
Keluarga
hendaknya berani memberi kesaksian imannya dengan perkataan maupun tindakan
serta siap menanggung resiko yang muncul dari imannya itu. Kesaksian iman itu
dilakukan dengan berani menyuarakan kebenaran, bersikap kritis terhadap
berbagai ketidakadilan dan tindak kekerasan yang merendahkan martabat manusia
serta merugikan masyarakat umum.” Jadi intinya adalah menjadi saksi iman itu
penting tidak lagi hanya menyerukan tetapi ambil bagian didalam kesaksian
tersebut sehingga kita benar benar siap mati membawa iman kita secara utuh dan
tidak ragu-ragu lagi.
Dengan
demikian, penjelasan dari KWI ini menegaskan bahwa keluarga menjadi Ecclesia
domestica (Gereja Rumah tangga) karena mengambil bagian dalam kelima tugas
atau peran Gereja, yaitu persekutuan, liturgi, pewartaan Injil, pelayanan dan
kesaksian iman.
1.4 Tantangan
Pastoral Keluarga Di Dunia Modern
1.4.1
Keluarga sebagai Kerajaan Allah
Dengan perkembangan
baru di dalam tradisi Gereja, hakikat keristianitas itu sendiri telah menjadi
lebih jelas. Justru ketika Kita mungkin telah berpikir bahwa “Gereja” berarti
bahwa para uskup, imam, dan kaum biarawan, kata yang muncul dari “Gereja”
tersebut berarti keluarga Kita. Tidak berarti bahwa para imam mencoba
membebankan beberapa tugas mereka kepada Kita karena tidak terdapat cukup imam
untuk melayani. Keluarga Kita selalu merupakan Gereja. Kita selalu memiliki
panggilan untuk hidup dengan kegembiraan yang tak perlu disembunyikan sehingga
membuat orang-orang berkata “Aku juga termasuk dalam bilangan Gereja. Lihatlah,
betapa mereka saling mengasihi.” Gereja merupakan sebuah Keluarga, dan keluarga
Kita adalah Gereja. Keluarga Kita tidak sempurna. Akan tetapi, kapankah Gereja
itu sempurna? Keluarga Kita memiliki banyak persoalan. Tetapi, apakah persoalan
keluarga Kita sebanding dengan persoalan yang dialami oleh umat yang disapa
Paulus di dalam Surat Pertama kepada Orang Korintus yang disebutnya “para
kudus”? bagaimana “sempurnanya” Pasutri sebagai sebuah keluarga, itu bukanlah
pokok pembicaraan. Pokok pembicaraan adalah: Gereja sebagai Tubuh Kristus yang
kelihatan.
Sebagai Gereja,
keluarga kita merupakan Tubuh Yesus Kristus. Gereja sebagai keluarga memiliki
panggilan menyatakan kasih dan cinta kapada dunia bahwa kasih Allah sungguh
luar biasa. (menjadi keluarga katolik
sejati masa kini hal 23).
1.5 Tanggungjawab
Keluarga Katolik di Dunia Modern
Ketika kita berbicara tentang
keluarga kristiani, kita juga bersangkut paut dengan tradisi keluarga
krisitiani, yang dibangun berdasar konsensus dan bersifat monogam serta tak
terceraikan. Namun, ketika kita berbicara tentang tradisi, kita tidak berbicara
tentang pokok-pokok teologis yang diteruskan, melainkan berbicara penerusan
penalaran dari generasi ke generasi. Dalam keluarga kristiani, penalaran yang
diteruskan adalah bagaimana keluarga kristiani harus hidup di tengah masyarakat
modern sehingga keluarga kristiani. Kita perlu menggalinya lebih dalam.
a.
Perjanjian Baru, Yohanes Krisostomus, Luther dan Calvin (Puritan)
Lisa Sowle
Cahill menyelidiki ajaran Perjanjian Baru dan tiga orang tersebut (Yohanes
Krisostomus, Luther dan Calvin) mengenai keluarga. Secara umum, ajaran itu
menyebut tentang peran keluarga dalam medan publik. Dalam Kitab Suci Perjanjian
Baru, Yesus menyebut “keluarga” sebagai sebuah bentuk yang inklusif. “Lalu
kata-Nya, sambil menunjuk ke arah murid-murid-Nya: ‘Ini ibu-Ku dan saudara-saudara-Ku!
Sebab siapa pun yang melakukan kehendak Bapa-Ku di sorga, dialah saudara-Ku
laki-laki, dialah saudara-Ku perempuan, dialah ibu-Ku’” (Mat. 12: 49-50).
Yohanes
Krisostomus menyebut bahwa keluarga berperan di dalam pelayanan kepada mereka yang
miskin. Lebih dari itu, ia memimpikan bahwa Kristianitas di dalam
keluarga-keluarga kristiani akan mempunyai peran yang amat kuat bagi kehidupan
masyarakat secara keseluruhan. Sementara itu, kaum Puritan/Calvinis menyebut
bahwa keluarga Kristiani secara aktif hadir untuk membarui institusi masyarakat
dan pemerintahan. Sedangkan Luther menyebut bahwa keluarga Kristiani bertugas
untuk menumbuhkan cinta kristiani di dalam keluarga.
Dari tradisi
ini, kaitan antara keluarga dengan masyarakat tidak dapat dilepaskan. Keluarga
dan masyarakat saling membentuk dan mempengaruhi. Nilai-nilai kristiani
mestinya diteruskan ke dalam kehidupan masyarakat melalui keluarga-keluarga
kristiani.
b.
Ajaran Katolik Modern tentang Keluarga
Cara
berpikir tentang tradisi keluarga kristiani di atas diteruskan ke dalam
berbagai ajaran Gereja tentang Keluarga sebagai pendidik utama dan pertama. Bagaimana Gereja bersuara tentang keluarga ketika berhadapan dengan
individualisme, tuntutan kesetaraan laki-laki dan perempuan, industrialisasi,
serta etika pasar bebas yang melanda masyarakat kita? Salah satu istilah
yang memegang peranan penting adalah “domestic church”. Dalam Familiaris
Consortio, Paus Yohanes Paulus II menyatakan bahwa keluarga dipanggil
menjadi sebuah “gereja” demi mendorong partisipasi semakin banyak keluarga bagi
hidup menggereja, membantu perkembangan hidup doa dan katekese di dalam rumah,
dan mendorong dedikasi keluarga bagi kebaikan bersama. Dalam hal ini, yang
dipikirkan oleh ensiklik adalah bahwa misi sosial keluarga berasal identitasnya
sebagai orang Kristiani dan karena tanggungjawab atas kebaikan bersama itu
berasal koderatnya sebagai manusia. Domestic church ini ditujukan pada
tanggungjawab keluarga kristiani atas keadilan ekonomi dan keadilan gender.
Pandangan
bahwa domestic church itu berkaitan dengan keadilan ekonomi dan
persoalan gender dipengaruhi oleh cara pikir modern tentang nilai seorang
individu dan kebebasannya. Nilai individualitas dan kebebasan individu ini,
seperti dikatakan di atas, mempengaruhi pemikiran tentang keadilan ekonomi dan
kesetaraan gender (problem feminisme). Apa yang dipikirkan di dalam Familiaris
Consortio, senada dengan apa yang dipikirkan di dalam dokumen-dokumen lain,
misalnya: Rerum Novarum (tentang kondisi pekerja, termasuk pekerja
wanita), Populorum Progressio (tentang solidaritas kepada mereka yang
miskin), Piagam bagi Keluarga Kristiani, dan sebagainya.
BAB II : DASAR TEORI/LANDASAN TEORI
1.6
Pandangan Bapa Gereja
1.6.1
Pandangan Konsili Vatikan II mengenai kesimpulannya
dalam Konstitusi Pastoral “Gaudium et Spes” hanya dikatakan bahwa Allah sendiri
menganugerahi perkawinan dengan banyak manfaat dan tujuan unitif dan prokreatif
dari perkawinan disatukan. Akan tetapi, tetap kurang jelas, bagaimana kedua
tujuan itu berhubungan satu sama lain. Artinya dalam Konstitusi Pastoral “
Gaudium et Spes” 47-52 kita lihat bahwa hakikat perkawinan dirumuskan sebagai
“komunitas hidup dan cinta” yang secara kodrati diarahkan pada keturunan. Konsili
Vatikan II menyebutkan perceraian sebagai kenyataan yang mengaburkan keluhuran
perkawinan, dan menegaskan bahwa kesatuan suami-istri dan penting anak-anak
menuntut “tak-terceraikan” nya perkawinan (“Gaudium et Spes” 47-52). Sungguh
jelas bahwa pandangan Konsili Vatikan II menegaskan sesuatu hal yang sangat
memiliki peran penting bahwa perkawinan hendaknya didasari dengan cinta dan
kasih dalam keluarga sehingga rahmat dan Roh Allah sungguh nyata dalam hakikat
perkawinan tersebut. Hal 68
Paus Paulus VI menegaskan kembali
ajaran Pius XII dalam ensikliknya yang berjudul “Humanae Vitae” (1968). Paus
Paulus VI menyatakan bahwa bukan hanya perkawinan sebagai keseluruhan, melaikan
bahwa setiap hubungan seksual antara suami-istri harus tetap terbuka terhadap
adanya keturunan. Sebab, dari kodratnya, hubungan seksual harus mempunyai dua
makna prokreatif, dan makna unitif. Ada
kelompok yang menegaskan bahwa “cinta suami-istri” tak termasuk dalam hakikat
perkawinan mereka, kemudian mereka terikat pada hukum dan ciri-ciri perkawinan
yang pokok, seperti yang ditegaskan oleh Santo Thomas Aquino (Summa Theologi,
Suppl. 49,3). Hal 87-88
BAB III : PEMBAHASAN
1.7
Ciri-ciri
perkawinan
Santo Agustinus mengajarkan bahwa perkawinan mempunyai
3 “bonum”, yakni: proles, fides, sacramentum. Dijelaskan bahwa fides memberikan
kesetiaan, sehingga mempelai tidak punya ikatan orang lain lagi; proles
mendorong mereka menerima anak-anak penuh dengan cinta, memberikan nafkah
secara layak, dan mendidik secara agamawi; sacramentum menyatukan mempelai
sehingga tak akan bercerai.
1.7.1
Realitas: titik terang dan suram keluarga
Perlunya memahami situasi keluarga kristiani yang
hidup di zaman modern. Gereja wajib menyampaikan Injil Yesus Kristus
(evangelisasi) yang tak dapat berubah namun tetap selalu baru. Pandangan dunia
tentang perkawinan sebagai sakramen dan realitas perkawinan menghadapi masalah
keluarga yang rumit dan kompleks. Kesadaran kebebasan pribadi dan makin
besarlah perhatian terhadap kualitas relasi, martabat wanita, tumbuhnya
keturunan secara bertanggungjawab, terhadap pendidikan anak, kesadaran perlunya
hubungan timbal balik di bidang rohani maupun jasmani. Salah pengertian
teoritis maupun praktis tentang tidak saling tergantungnya suami-istri, salah
paham mengenai hubungan kewibawaan orang tua dan anak.
1.7.2
Beberapa tantangan konkrit yang dialami keluarga:
- Makin
banyaknya perceraian sipil terhadap pasangan perkawinan Gereja,
- Hidup
bersama tanpa peneguhan perkawinan Gereja (kanonik),
- Malapetaka
praktik aborsi anak dan makin kerapnya sterilisasi bagi para ibu dan
tumbuhnya mentalitas keluarga yang jelas-jelas menggunakan alat KB yang
bersifat kontraseptif-abortif,
- Faktor
ekonomi menyebabkan keluarga terpisah satu sama lain,
- Ketidaktahuan
umat mengenai ajaran Gereja tentang perkawinan,
- Persoalan
konkrit dan praktis di Paroki: keluarga yang retak tidak tahu solusi,
pisah ranjang dan single parents.
1.7.3
Rencana Allah bagi keluarga kristiani:
Rencana Allah bagi keluarga dapat
diketahui melalui: mengetahui kehendak Allah dari wahyu positif dan wahyu
natural. Wahyu positif berarti apa yang disampaikan oleh Allah melalui KS.
Wahyu natural berarti apa yang terdapat di dalam alam ciptaan dan dapat
diketahui sebagai ketetapan Allah berkat akal budi manusia. Allah menciptakan
manusia menurut gambar dan citra Allah (Kej. 1:27). Manusia diciptakan oleh
Allah menurut model kasih, dan dengan motivasi kasih. Artinya manusia
diciptakan oleh Allah dalam membangun keluarga dengan model kasih. Motivasi
Allah menciptakan manusia lelaki dan perempuan dengan kasih. Panggilan
manusia-keluarga adalah kasih, (Yoh. 15:13; Mat. 25:31-46).
BAB IV : PENUTUP
1.8
KESIMPULAN
Sebagai komunitas hidup dan cinta, menurut Sinode
Uskup yang lalu, keluarga mempunyai empat tugas yakni: membentuk komunitas
pribadi-pribadi; mengabdi kehidupan; ikut serta dalam pembangunan masyarakat;
mengambil bagian dalam hidup dan pengutusan Gereja.
1.8.1
Membentuk komunitas pribadi-pribadi:
Cinta merupakan dasar dan tujuan keluarga. Keluarga
harus memperkembangkan cinta, agar ia tumbuh menjadi komunitas antara pribadi
yang saling mencintai. Kesatuan pertama ialah cinta eksklusif suami-istri. Roh
Kudus mencurahkan lewat sakramen perkawinan cinta sejati antara mereka, seperti
cinta yang menghubungkan Yesus Kristus dan Gereja. Kesatuan semacam itu dilawan
oleh poligami, yang menentang kehendak Allah (GS 49).
1.8.2
Mengabdi kehidupan
Sinode Uskup menegaskan lagi ajaran Gereja, termasuk
Konsili Vatikan II (GS 50) dan Paulus VI, bahwa cinta suami-istri harus terbuka
bagi keturunan.
1.9
USUL DAN SARAN
1.9.1
Begitulah isinya dari makalah yang saya buat dimana
terdapat tantangan maupun rintangan bagi Pasutri yang perlu diarahkan adalah
hasrat mereka untuk tetap bersama Sanga Pencipta yakni Yesus sendiri yang
selalu menemani didalam permasalah dan disadari atau tidak Allah selalu
membimbing kita (Pasutri). Serta bagai mana Gereja menyikapi masalah tersebut
beberapa uraian yang mendukungan dalam penyelesaian masalah yang dihadapi
Pasutri. Apakah yang bisa dilakukan gereja? Gereja
dalam panggilan dan pengutusan senantiasa berorientasi pada tindakan memberi
tanggapan yang baik (a good responder). Bertolak dari hal di atas maka gereja
perlu memperhatikan beberapa hal berikut:
a.
Pelayanan kategorial sebagai unit
missioner membangun pola pelayanan yang utuh dengan muaranya adalah keluarga.
Perlu dilakukan pelayanan yang bersifat lintas pelkat.
b.
Pelayanan kategorial mewujudkan bentuk
pelayanan yang mengarah pada penguatan peran keluarga dengan system yang
berjenjang dan bertahap. Artinya setiap bentuk kegiatan selalu dipayungi oleh
pemahaman tentang keluarga.
c.
Pelayanan pelkat yang dpertajam dengan
hadirnya pendeta khusus bidang pelayanan pelkat akan membentuk pola pelayanan
yang semakin baik
LAMPIRAN
Dalam cara pandang itu, kita dapat memakai pandangan Lisa Sowle Cahill. Ia menyatakan bahwa: “In my view, the Christian family is not the nuclear family focused inward on the welfare of its own members but the socially transformative family that seeks to make the Christian moral ideal of love of neighbor part of the common good”. Keluarga kristiani bukan sebagai keluarga inti yang hanya memfokuskan diri pada kesejahteraan anggota-anggotanya (bonum conjugum, bonum prolis) namun sebuah keluarga yang secara sosial mentransformasi masyarakat sedemikian sehingga kasih kepada sesama terpancar dalam kebaikan bersama (bonum communae).
Maka,
tanggungjawab dan kesetiaan dalam keluarga kristiani mesti ada bersama dengan
tindakan sosial yang altruistik, sehingga keluarga diberdayakan (empowered)
untuk berpartisipasi dalam kebaikan bersama masyarakat. Melalui keluarga
kristiani, laki-laki dan perempuan menjadi setara dalam berpartisipasi
(berkuasa), baik di dalam keluarga maupun di tengah masyarakat, termasuk di
dalamnya dalam hal ekonomi. Dengan cara pandang ini, terjadilah sebuah
diskursus antara moral keluarga kristiani (kesetiaan, kesejahteraan anggota
keluarga) dengan moralitas modern (kesetaraan laki-laki dan perempuan, kebaikan
bersama). Singkatnya, dalam moralitas keluarga kristiani modern kita menemukan
faktisitas bahwa kita menawarkan kebaikan bersama dengan memberikan kebaikan
bersama, dalam dan melalui tanggungjawab publik keluarga kristiani.
Keluarga Katolik
sebagai komunitas basis dipanggil untuk semakin mewujudkan dirinya sebagai
keluarga Katolik sejati. Kita tidak perlu pesimis menghadapi
tantangan-tantangan yang ada karena sebagai keluarga Katolik kita memiliki
harta karun yang menanti untuk kita temukan.
DAFTAR PUSTAKA
Familiaris Consortio. 1981. Keluarga.
Jakarta. (Lih Art 6, 49, 11)
Jurnal: Suparto hal 89-99
http://sinode.archdioceseofmedan.or.id/index.php/2015/09/10/bksn-2015-keluarga-melayani-seturut-sabda-allah-19/ diunduh tanggal 29-03-2016 20:34
http://www.katolisitas.org/keluarga-kristiani-sebagai-ecclesia-domestica/ diunduh tanggal 31-03-2016 08:00
Tim Publikasi
Pastoran Redemptoris. 2001. Menjadi
Keluarga Katolik Sejati Masa Kini. Kanisius. Hal 23.
Katekismus
Gereja Katolik. 1992 (lih Art 2685, 1656, 1666, 1657, 2204, 2205).
Mfs.Al.
Purwa hadiwardoyo Perkawinan dalam tradisi Katolik. Kanisius hal 126-128
Komentar
Posting Komentar