SEJARAH SINGKAT PONOROGO YANG
BERSANGKUTAN DENGAN profil paroki Klepu, ponorogo ( SUMBER DARI MASYARAKAT TANGGAL 28 MARET 2016).
Pada tahun 1964, Paroki St. Cornelius Madiun akan
merayakan hari lahirnya Pancasila 1 Juni
1964 yang ke-19. Para Romo merasa bahwa peringatan tersebut kurang meriah
kalau hanya diisi oleh pentas kesenian yang ada di Kota Madiun saja. Romo
teringat bahwa di Madiun ada murid, yang menjadi koster paroki. Namanya
Sugiyoto. Ia berasal dari Desa Klepu, Kecamatan Sooko, Kabupaten Ponorogo.
Selama di Madiun, anak ini dikenal mempunyai talenta dalam bidang kesenian,
baik tari Reog maupun dalang. Lalu, Sugiyoto diundang dalam pertemuan para
Romo. Ia ditanya mengenai kesenian yang berasal dari Desa Klepu dan kemungkinan
dapat dipentaskan di Madiun untuk memeriahkan peringatan hari lahirnya
Pancasila.
Sugiyoto
menawarkan kesenian Reog dadak, yang telah sekian lama dihidupi dan
berkembang di Klepu. Para Romo menyetujui pentas Reog ini diadakan. Sugiyoto
diminta mengundang paguyuban Reog yang ada di Klepu. Rupanya, ada 2 paguyuban
Reog Dadak. Sebuah paguyuban berada di Dukuh Jogorejo. Tepatnya di rumah Bapak
Rusnu. Satu paguyuban lagi berada di Dukuh Klepu. Tepatnya di rumah Bapak Kasdi.
Nama paguyuban Reog itu adalah Singo Tirto dan Singo Kusuma. Ketua Paguyuban
Reog Singo Kusuma adalah Bapak Kasiran.
Pada waktu itu, Kepala Desa Klepu adalah Bapak
Soemakun. Sementara itu, Sugiyoto adalah keponakan Bapak Soemakun. Setelah desa
mengadakan musyawarah, maka paguyuban Reog Singo Kusumo ini, akhirnya mereka
menanggapi tawaran para Romo di Madiun melalui Sugiyoto. Akhirnya, paguyuban
Reog ini berangkat ke Madiun. Mereka berjalan kaki dari Desa Klepu sampai di
Desa Sombro. Maklumlah pada waktu itu, jalan belum dapat dilewati kendaraan
roda empat. Para pamong dan tokoh masyarakat Desa Klepu turut mengikuti
rombongan ke Madiun. Di antara mereka adalah Bapak Soemakun (Kepala Desa),
Bapak Soemarto (Jogoboyo) dan Selam, Pethil, Gliseng, Misdi, Sunaryo, Tunik,
Timin, Sirun, Kasiran, Atim (yang
kesemuanya adalah tokoh masyarakat). Sesampainya di Desa Sombro, rombongan
dihentikan oleh 3 orang tokoh PKI Sombro. Mereka meminta agar Reog diberi tanda
BRP. Kalau tidak mau maka rombongan tidak diperkenankan untuk masuk ke Madiun.
Bapak Soemakun mengatakan bahwa tidak perlu ada tulisan BRP atau atribut lain,
karena di kepala Reog sudah ada tulisan Reog Desa Klepu, Kecamatan Sooko.
Seandainya terjadi sesuatu, maka Kepala Desa Klepu berani untuk bertanggung
jawab. Saat itu terjadi ketegangan di antara mereka dan akhirnya terhenti
setelah truk penjemput dari Madiun datang. Tanpa kata apapun, rombongan naik ke
atas truk dan berangkat.
Ketika giliran Reog mendapat kesempatan pentas, antusiasme
masyarakat sangat terlihat. Sambutan kemeriahan dalam rupa tepuk-tangan dan
teriakan menunjukkan hal tersebut. Tentunya, ini juga menjadi semangat
tersendiri bagi para pemain Reog. Dengan semangat dan ketrampilan yang
dimiliki, mereka mampu menghibur masyarakat. Pentas berlangsung meriah dan luar
biasa, hingga di akhir acara itu, masyarakat masih memberi sambutan dengan
sopan, akrab dan santun. Sikap inilah yang selalu diingat oleh rombongan Reog
dari Desa Klepu.
Sebenarnya pada waktu itu tumbuh perasaan
tanda-tanya dan penasaran yang muncul dalam hati para pemain Reog. Hal ini
disebabkan oleh apa yang mereka saksikan waktu itu. Selama peringatan mereka
menemui barisan karnaval dari orang Katolik dan para Biarawan/Biarawati Paroki
St. Cornelius Madiun. Mereka heran melihat barisan orang-orang yang mengenakan pakaian
serba putih. Orang apakah mereka ini? Ada yang mengatakan orang Mutihan, karena pakaiannya serba putih.
Ada yang mengatakan orang Muslimin dan juga orang Bombai. Karena kebanyakan
orang yang mengenakan pakaian putih itu adalah orang Belanda dan Cina, maka
disebut Londo dan Cino. Maklumlah pada saat itu rombongan Reog belum mengenal
sama sekali agama Katolik.
Peristiwa tahun 1965 merupakan momentum yang tidak
pernah terlupakan oleh masyarakat Desa Klepu. Pada waktu itu pecah peristiwa G
30 S PKI. Suasana begitu mencekam dan gawat. Pembunuhan terjadi di mana-mana.
Oleh karena itu, warga masyarakat Desa Klepu mengadakan penjagaan esktra ketat
untuk mengamankan Desa. Di setiap RT dan Dukuh diwajibkan membuat pos-pos
penjagaan. Setiap Gerdu/Cakruk yang ada harus ada orang yang bertanggung
jawab. Pusat penjagaan pada waktu itu di rumah Bapak Supandi/Parto Sentika (Lurah Dongkol, ayah Soemakun).
Orang-orang yang berjaga di setiap pos cukup
banyak. Setiap malam mereka berkumpul dan membawa alat penjaga keamanan
seadanya. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang ikut rombongan Reog ke
Madiun. Orang mulai membicarakan peristiwa geger G 30 S PKI secara apa adanya,
tanpa basa-basi. Mengapa orang saling membunuh, tidak peduli apa itu saudara
atau bukan, seagama atau bukan? Bagaimana dengan nasib kita? Kita ini mengaku
beragama Islam, KTP juga Islam, tetapi kita tidak pernah melaksanakan ajaran
agama Islam. Bagaimana kalau nasib kita seperti mereka yang terbunuh, karena
tidak bisa merapalkan syahadat? Pembicaraan bergulir menjadi soal agama. Mereka
teringat akan kesan baik dan cara penyambutan rombongan Reog yang bersahabat
dari orang “Katolik” Madiun. Dalam batin mereka tertanam pemahaman bahwa orang
“Katolik” Madiun itu baik-baik, sopan,
tentram, damai, rukun dan bersatu. Tidak ada watak keras yang terlintas di
wajah mereka. Yang tampak hanya kelembutan dan penuh kasih. Orang-orang yang
berkumpul di Rumah Bapak Supandi/Parto Sentiko bertanya kepada Bapak Soemakun
mengenai agama orang Madiun itu. Bapak Soemakun menjawab bahwa berdasar
kesaksian Sugiyoto, orang-orang Madiun itu beragama Katolik. Pembicaraan
berlanjut. “Kalau demikian, apakah kita boleh pindah agama?”, tanya
orang-orang. Bapak Soemakun menjawab bahwa orang boleh pindah agama atas
kehendak sendiri, menurut hati nurani dan tanpa paksaan dari orang lain. Itu
hak dan tidak ada yang melarang. Bapak Soemakun balik bertanya, “Apakah kalian
ingin menjadi Katolik seperti mereka?” Tanpa disangka ternyata orang-orang yang
ada di tempat itu secara serempak menjawab ya, Pak!
Kesan kerukunan,
keramahan dan kelembutan hati orang Katolik Madiun itu telah membekas sedemikian
dalam di hati masyarakat Klepu. Mereka punya harapan bahwa di Klepu dapat
tercipta kerukunan dan kedamaian seperti yang terjadi pada orang Katolik
Madiun. Bapak Soemakun tidak bisa langsung menanggapi niat masyarakat saat itu.
Ia hanya menjanjikan bahwa akan menanyakan semua itu pada Sugiyoto,
keponakannya kalau nanti pulang dari Madiun. Ketika Sugiyoto pulang dari
Madiun, Bapak Soemakun menyambutnya dengan pertanyaan: Apakah orang Klepu boleh
masuk menjadi Katolik? Secara spontan, Sugiyoto menjawab boleh asalkan ada 25
orang. Ia akan berusaha meminta pelajaran menjadi Katolik dari para Romo di
Madiun. Seketika yang hadir di situ menyanggupi. Di antara mereka adalah Bapak
Soemakun, Supandi, Pirnadi, Sunaryo, Misdi, Selam, Sarnu, Sarikun dan Tunik (yang akhirnya kembali ke Islam). Sisa
kekurangannya mereka akan melengkapi. Hingga akhirnya terkumpul lebih dari 25
orang.
Sugiyoto segera kembali ke Madiun dan menyampaikan
niat warga Klepu kepada Romo di Madiun. Sekitar tahun 1967, Rm. Sebastiano
Fornasari, CM datang ke Desa Klepu untuk menemui Bapak Soemakun. Mereka
bersama-sama menentukan jadwal pelajaran agama. Akhirnya, Hari Minggu dipakai
sebagai hari pelajaran. Sesudah itu, Romo di Madiun mengirim seorang katekis, Bapak
Sukardi untuk memberikan pengajaran di Klepu. Rumah Bapak Parto Sentiko
dijadikan sebagai tempat pengajaran. Pelajaran berjalan dengan baik dan
semangat, bahkan dalam setiap pertemuan jumlah simpatisan semakin banyak.
Karena semakin banyak maka aktivitas ibadah cara Katolik mulai dikenalkan.
Tempat ibadahnya waktu itu terletak di Dalangan, Desa Sombro. Jaraknya 3 Km,
sebelah utara Desa Klepu. Daerah ini dipilih dengan harapan, supaya pengajaran
bisa mencakup seluruh Kecamatan Sooko. Pada tanggal 8 Desember 1968, di
Dalangan terjadi Baptisan massal. Kebanyakan umat yang dibaptis dari Desa
Klepu. Jumlahnya ada 853 orang. Karena itu, mereka menyewa rumah Bapak Soeran
untuk dijadikan kapel sementara. Seluruh aktivitas peribadatan dan pengajaran
umat dilaksanakan di tempat ini. Tiap Minggu umat dari Desa Klepu
berbondong-bondong ke Dalangan untuk mengikuti Ibadah. Tiap keluarga membawa
tikar untuk alas duduk mereka. Sejak saat itu, umat di Desa Klepu diberi
Katekis. Meskipun setiap saat mengalami mutasi tetapi toh tetap disediakan.
Beberapa katekis yang pernah bertugas di Desa Klepu adalah Bapak Sukardi, Mario
Alimin, Karmin berpasangan dengan JE. Sugiyanto, Alb. Samingan berpasangan
dengan Agus Jatmiko. Selain katekis, pelayanan pastoral dari imam juga secara
rutin diberikan. Beberapa imam yang pernah terlibat dalam pengembangan umat
Klepu adalah Rm. Tandya Sukmono, CM, Rm. Sebantiano Fornasari, CM, Rm. Silvano
Ponticelli, CM, Rm. Valentino Bosio, CM dan romo di Ponorogo sesudah menjadi
Paroki.
Perjalanan dari Klepu ke Dalangan pasti melewati Desa
Bedoho. Di Bedoho ini umat sering kali dicaci maki dan dicibir. Masyarakat
Bedoho mengatakan bahwa umat Katolik itu orang
kafir, kalau mati nanti jadi celeng, dipentheng. Orang Katolik itu
menyembah patung dan sejenisnya. Orang Katolik itu suka nyadran ora uwis-uwis (kenduri di tempat keramat dan makam tidak
selesai-selesai). Umat tetap diam menyikapi hal ini. Mereka tetap setia
dengan hidup peribadatan mereka. Bahkan umat di Klepu terus berkembang. Melihat
perkembangan yang terjadi ini akhirnya Romo di Madiun membeli rumah Bapak
Gandul dari Bedoho untuk dijadikan kapel. Rumahnya berbentuk sinom. Pada tahun
1969, rumah didirikan di Desa Klepu untuk tempat ibadah umat. Awal tahun 1970,
rumah ibadah yang sudah ada dibangun menjadi Gereja dengan ukuran cukup besar,
yaitu 20 X 25 m. Bentuknya tetap sinom karena disesuaikan dengan rumah adat di
Klepu. Pembangunan gedung gereja di atas tanah wakaf Bapak Soemakun mulai dilakukan. Pendampingan
dan pelayanan umat tentu tidak hanya berhenti di situ. Oleh karena itu, sejak
tahun 1972 ditempatkan petugas pastoral atau katekis khusus untuk melayani
Wilayah Klepu dan sekitarnya. Salah seorang katekis yang tinggal di Klepu
adalah Bapak JE. Soegiyanto, BA hingga pensiun tahun 1998.
Stasi Klepu berlindung di dalam nama Sakramen
Mahasuci. Gedung Gereja Sakramen Mahakudus terletak di lingkungan Genengan.
Stasi Klepu terbagi menjadi 11 lingkungan, yaitu Lingkungan Klepu, Pondok,
Sulingan, Wareng, Mendung, Tanjung, Ngapak, Genengan, Sambi Barat, Sambi Timur,
Bendo. Jarak masing-masing lingkungan
dengan gereja sebagai pusat kegiatan umat rata-rata sekitar 0,5 km hingga 6 km.
Sejak tahun 1990 dibentuklah Dewan Gereja Klepu. Dewan Gereja ini dipercaya
untuk mengelola pendampingan umat dan penanganan beberapa urusan administratif
yang terkait dengan kehidupan Stasi. Ketua dewan saat itu adalah Bapak K.
Pirnadi. Pada tahun 1993 - 1997, Bapak Edy Sudarman dipercaya mengantikan Bapak
K. Pirnadi. Tahun 1997, istilah Dewan Gereja diganti menjadi Dewan Stasi.
Periode tahun 1997 - 2000, jabatan ketua dipegang oleh Bapak Gimin. Periode
tahun 2000- 2007, jabatan dipegang oleh Bapak Petrus Sutarno. Sesudah itu,
kepengurusan Dewan Stasi dipegang oleh kelompok “muda” dengan Bapak FX. Adi
Suwito menjadi ketuannya (Makalah Paroki).
Dalam
peran yang luar biasa para katekis dan imam saling membantu dan membangi kring
(lingkungan)
- Stasi sendang
- Stasi jurug
- Lingkungan klepu
- Lingkungan Sambi timur
- Lingkungan Sambi barat
- Lingkungan Bendo
- Lingkungan Wareng
- Lingkungan kuniran
- Lingkungan mendhung
- Lingkungan Sulingan
- Lingkungan Tanjung
- Lingkungan Ngapak
- Lingkungan genengan
Dalam
peran besar Rm. Silavano Ponticelli, CM merupakan imam yang berperan besar
dalam Gereja klepu seperti memperhatikan umat klepu dengan membangun Rumah
sehat bagi umat klepu yang di ketuai oleh Rm Silavano Ponticelli, CM dan
pembantu mengurus Rumah Kesehatan yakni Alm bu Budas, serta dalam peran melihat
perkembangan anak-anak dalampendidikan maka Rm. Silavano Ponticelli, CM
mendirikan TK Pancasila untuk jengjang kedepan. Seiring berjalananya waktu
Gereja klepu menjadi paroki pada Tahun 2012 dan berdirinya Skramen Mahakudus
Tahun 2000, dengan semangat Rm Skolatikus Agus Wibowo Pr dan Rm. Matius Slamet
Pr,yang membawa umat menjadi paroki Hilarius Klepu karena menurut Rm Skolatikus
Agus Wibowo Pr,umatsudah cukup dan mampu sehingga menjadi dasar atas kekuatan
bersama umat peran Rm Skolatikus Agus Wibowo yang menonjol adalah
1. Penanaman
besar organic
2. Pembuat
batu akik
3. Menyekolahkan
umat yang kurang mampu
4. Membangun
fasilitas rakyat
Serta
di sebuah tebing pada sebuah ketinggian perbukitan masih di desa Klepu,
dibangun pula Goa Maria Fatima Sendang Waluyojatiningsih. Berdiri sebuah
patung menggambarkan Maria warna putih pada sebuah ketinggian di atas sendang
(kolam bermata-air). Tempat ini, untuk melakukan simbolisasi
perziarahan.Setelah itu, gerak Katolik yang terang-terangan didukung Kepala
Desa ini, semakin agresif menebar pengaruh dan missi cinta kasih Allah
membuat umat semakin guyub rukun. Cikal bakal Katolik di desa ini, cepat tumbuh
berkembang. Bahkan, dalam dua kali jabatan Kepala Desa penerus Soemakoen-Kuswandi
dan Agung, juga dari kalangan katolik menjadikan gerak missi katolik semakinberkembang,
termasuk pembangunan rumah kepasturan di atas lahan yang dulu tempat
bapak Puji sukartono . Desa Klepu dengan jumlah penduduk 2.896 jiwa dalam
800 Kepala Keluarga (KK). Sejumlah 1,054 jiwa memeluk Katolik.
UNTUK INFO SELANJUTNYA BISA DI CEK KAMPUS INI UNTUK MEMBANTU PENGETAHUAN..
BI AL-PHON : JALAN MGR SOEGIJOPRANATA, Banjarejo, MADIUN, Kota Madiun, Jawa Timur 63137
UNTUK INFO SELANJUTNYA BISA DI CEK KAMPUS INI UNTUK MEMBANTU PENGETAHUAN..
BI AL-PHON : JALAN MGR SOEGIJOPRANATA, Banjarejo, MADIUN, Kota Madiun, Jawa Timur 63137
KETERANGAN MEMBANTU
katekis paroki angela Kristina fb..
penting: maaf jika dalam penulisan baik itu nama maupun kata masih dalam kata yang tidak sempurna
Komentar
Posting Komentar